بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pada sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika, seperti diberitakan Healthline dikutip PilihDokter.com, remaja yang pacaran memiliki resiko empat kali lipat lebih tinggi untuk berhenti sekolah setelah memiliki pasangan.
Para penelitian ini, para peneliti mengamati sekitar 624 orang pelajar, mulai dari pelajar sekolah dasar (kelas 6 SD) hingga pelajar sekolah menengah atas (SMA 3) di 6 sekolah berbeda di Georgia.
Setiap tahunnya, para peneliti meminta para pelajar untuk mengisi sebuah kuesioner mengenai bagaimana kehidupan pribadi mereka, sementara itu para peneliti akan meminta para guru untuk mengevaluasi bagaimana prestasi akademik dari para pelajar tersebut.
Para guru akan menilai prestasi akademik anak melalui banyak faktor seperti bagaimana mereka mengerjakan tugas sekolah, bagaimana mereka mengerjakan tugas kelompok, apakah mereka menyelesaikan semua pekerjaan rumah yang diberikan, dan apakah mereka menyelesaikan tugas membaca yang diberikan.
Sekitar 38 persen dari para pelajar yang telah memiliki pacar di SMA mengatakan bahwa mereka hampir selalu memiliki pacar saat penelitian berlangsung (7 tahun) dan sekitar 22 persen remaja peserta penelitian mulai berkencan dengan seseorang saat mereka masih di kelas 6 SD.
Di sepanjang waktu penelitian, para guru mencatat bahwa anak yang memiliki prestasi akademik terbaik merupakan anak yang paling jarang berkencan dan anak yang paling sering berkencan jugalah yang memiliki prestasi akademik yang paling buruk.
Para peneliti menemukan bahwa para peserta penelitian yang tidak mempunyai pacar memiliki prestasi akademik yang lebih baik secara keseluruhan dibandingkan dengan pelajar yang telah memiliki pacar, di mana mereka memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk mengkonsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang saat mereka masih duduk di bangku SMA.
Mengapa demikian? Hal ini mungkin dikarenakan berkencan di usia dini merupakan salah satu bagian dari perilaku beresiko tinggi.
Selain itu, berbagai kesulitan emosional yang dialami saat memasuki masa remaja seperti depresi, penindasan, dan kecemasan juga membuat para pelajar berisiko lebih tinggi untuk memulai kebiasaan buruk seperti merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol, dan menggunakan obat-obatan terlarang.
Kadar hormon yang berfluktuasi dan adanya keinginan untuk mencari jati diri serta patah hati dapat membuat para remaja menggunakan cara yang salah untuk membantunya mengatasi rasa sakit hati dan stress yang dialaminya.
Sebuah penelitian lainnya yang dilakukan di Kanada menemukan bahwa para remaja yang depresi memiliki resiko 13 kali lipat lebih tinggi untuk mulai merokok.
Para peneliti menduga bahwa efek menenangkan dari rokok dapat membantu para remaja ini melewati berbagai kesulitan yang dialaminya. (Healthline/PilihDokter.com)
وَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
0 komentar:
Posting Komentar