Share Me!

>
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


TRIBUNNEWS.COM - Naskah di tangan Riyad Mansour, Duta Besar Palestina untuk PBB, terlihat bergetar. Duduk di ujung meja sidang Dewan Keamanan PBB, Selasa (30/12) malam waktu New York, ia baru saja menyaksikan apa yang dia sebut sebagai ”lumpuhnya DK PBB”.

Dua hari jelang tutup tahun 2014 itu, DK PBB menolak draf resolusi untuk menghentikan pendudukan Israel di teritorial Palestina dan berdirinya negara Palestina. Dalam pemungutan suara 15 negara anggota DK PBB, 8 negara mendukung resolusi, 5 abstain, dan 2 menolak.

Mansour menyampaikan kekecewaan lewat sambutan seusai pemungutan suara. Naskah di tangannya bergetar. ”Mengapa begitu sulit Dewan Keamanan bertindak sesuai konsensus global, mendesak penghentian aksi ilegal Israel, penghentian pendudukan Israel?” katanya.

Butuh dukungan minimal sembilan negara dan tanpa veto 5 negara anggota tetap agar resolusi bisa diadopsi. Bagi Palestina dan delegasi Arab, hasil itu cukup mengejutkan meski mereka tahu Amerika Serikat (AS) bakal menggunakan vetonya andai dukungan 9 negara tercapai.

Mereka mengajukan draf resolusi ke DK PBB lewat Jordania, anggota tidak tetap DK PBB dari grup Arab, 17 Desember lalu. Isinya, desakan pengakuan Negara Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur dan perintah penarikan pasukan Israel dari teritorial Palestina yang diduduki sejak tahun 1967, termasuk Jerusalem Timur, sebelum 31 Desember 2017.

Saat didaftarkan, belum ada kesepakatan penetapan waktu (timing) permintaan voting. Dari Palestina, muncul suara-suara agar pemungutan suara digelar secepatnya. Ada kesadaran, momentum tren di Eropa mendukung pengakuan Negara Palestina agar tak disia-siakan.

Namun, Duta Besar Jordania untuk PBB Dina Kawar ingin mengonsultasikan draf resolusi agar tercapai konsensus. Sejumlah diplomat Barat memberi sinyal, voting sebelum tahun baru bakal gagal meraup dukungan minimal 9 negara.

AS dan Inggris, dua dari lima pemilik hak veto, menyatakan tak akan mendukung resolusi Palestina. Maka, cukup mengherankan, mengapa voting dipaksakan sebelum tahun baru?
”Yang belum jelas dan pasti akan memunculkan tanda-tanya, mengapa kepemimpinan Palestina bersikukuh pada pemungutan suara sebelum tahun baru, padahal negara-negara yang bersahabat dengan kasus (Palestina) bakal bergabung DK PBB?” tulis Marwan Bishara, analis politik senior Al Jazeera.

Per 1 Januari 2015, lima anggota tidak tetap DK PBB (Australia, Korea Selatan, Rwanda, Luksemburg, dan Argentina) diganti Selandia Baru, Malaysia, Angola, Spanyol, dan Venezuela.
Senin (29/12), sehari jelang pemungutan suara, seluruh 22 delegasi Arab di PBB sepakat dan mendukung draf resolusi. Diperkirakan syarat minimal dukungan 9 negara terpenuhi.

Betapa kagetnya Palestina saat Presiden DK Mahamat Zene Cherif (Chad) meminta suara pendukung resolusi, hanya tercapai 8 suara (Perancis, Rusia, Tiongkok, Jordania, Argentina, Chad, Cile, dan Luksemburg).


Permainan kartu Nigeria
Satu suara yang diperkirakan banyak pihak —termasuk media Israel—mendukung resolusi berubah sikap di menit-menit terakhir, yakni Nigeria. Bersama Inggris, Rwanda, Korea Selatan, dan Lituania, Nigeria memilih abstain. AS dan Australia menolak. Syarat minimal dukungan 9 negara pun gagal terpenuhi.

Palestina merasa dikhianati Nigeria. ”Lebih dari sebulan lalu, saya menghubungi Kementerian Luar Negeri Nigeria dan bertanya, apakah akan mendukung kami, mereka menjanjikan (dukungan) itu,” kata Montaser Abuzaid, Duta Besar Palestina untuk Nigeria pada Daily Trust.

”Sampai Selasa (hari pemungutan suara) pun, mereka masih berjanji mendukung penghentian pendudukan (Israel).” Lagi pula, Nigeria mengakui Negara Palestina sejak tahun 1988.

Target Palestina dan negara Arab meraih dukungan 9 negara adalah kemenangan simbolik. Andai itu tercapai, mereka bakal menempatkan AS dalam posisi kurang nyaman, yakni harus menggunakan hak veto saat Washington masih butuh dukungan negara-negara Arab untuk memerangi milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Hal itu dibaca Washington. Siang hari jelang voting, Menteri Luar Negeri AS John Kerry menelepon Presiden Nigeria Goodluck Jonathan. Dari Jerusalem, PM Israel Benjamin Netanyahu juga menelepon Jonathan. Isi pesan Kerry dan Netanyahu sama, yakni Nigeria jangan mendukung resolusi Palestina.

Analis kebijakan luar negeri Nigeria, dikutip media setempat, This Day Live, menyebutkan, tunduknya Jonathan kepada keinginan Netanyahu terkait bantuan militer Israel kepada Nigeria dalam memerangi milisi Boko Haram, berupa pasokan senjata, pesawat nirawak, penasihat, dan pelatihan militer.

Nigeria bekerja sama dengan Israel di bidang pertanian, konstruksi, komunikasi, intelijen, dan lain-lain. Lebih dari 50 perusahaan teknik sipil, energi, komunikasi, dan industri keamanan Israel beroperasi di Nigeria.


”Nuklir” Palestina
Presiden Palestina Mahmoud Abbas pun mengeluarkan jurus berikutnya, yaitu bergabung dengan 16 organisasi internasional, termasuk Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Komentator Israel menyebut jurus itu ”opsi nuklir”, merujuk dampak yang ditimbulkannya.

PBB mengonfirmasi, Palestina diterima sebagai anggota ICC per 1 April 2015. Dengan status itu, Palestina bisa meminta ICC menyelidiki dugaan kejahatan perang, yang bisa menyeret pejabat Israel.
Investigasi ICC juga bisa berimplikasi diadilinya aktivis militan Palestina, seperti Hamas. Yang jelas, peristiwa terbaru ini membuka babak baru konflik Palestina-Israel. Seberapa efektif jurus baru Abbas dalam mewujudkan berdirinya Negara Palestina menarik dicermati.

”Mereka menyerang kami dan tanah kami setiap hari, kepada siapa lagi kami mengadu? Dewan Keamanan (PBB) telah membuat kami tersungkur, ke mana lagi kami harus melangkah?” kata Abbas di hadapan pimpinan Palestina, sebelum mengumumkan bergabung dengan ICC. (MH SAMSUL HADI)

وَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Click: SOURCE

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube