Share Me!

>
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


Beberapa hari belakangan ini Ustadz Musthafa, terlihat tengah murung. Mimpinya didatangi seorang lelaki paruh baya yang terlihat sangat menderita, tengah melambai-lambaikan tangan kepadanya, telah mengganggu tidurnya. Lelaki tua itu berkata, ”Tolong bebaskan aku, anakku”.

Mimpi yang terus berulang tersebut dirasa Musthafa bukanlah mimpi biasa, tetapi seperti sebuah pesan untuknya. Untuk memastikan hal tersebut ia lalu menemui beberapa orang alim dan bertanya. Ternyata firasatnya benar dan datangnya dari ayahnya. Sementara sejak kecil, ia belum pernah bertemu dengan beliau.

Kabar terakhir yang diperoleh Musthafa dari sang ibu, bahwa Taslimuddin, ayahnya, telah hilang ditengah laut Cina Selatan ketika bekerja disebuah kapal barang berbendera Jepang, 40 tahun silam. Saat itu usia Musthafa baru tiga tahun.

Siang malam Musthafa bermunajat kepada Allah SWT, memohon petunjuk ihwal amanah tersebut. Ia juga memohon ampunan atas dosa-dosa dan keringanan azab bagi ayahnya. Namun mimpi itu kembali datang. Ayahnya tetap meminta pertolongannya.

Musthafa lalu menemui kerabat dan karib ayahnya, untuk menanyakan, apakah Taslimuddin ada memiliki hutang atau ada berbuat kesalahan, kepada mereka. Harapannya, dengan keikhlasan dan pemberian maaf mereka, ruh (arwah) ayahnya dapat kembali tenang.
Ternyata ayahnya tetap menyambanginya dengan permintaan yang sama.

Setelah dua tahun Musthafa berusaha dengan gigih, akhirnya titik terang dari teka-teki mimpi itu mulai tersibak.
Ternyata sang ayah telah bermukim di Malaysia, setelah peristiwa hilang dilaut itu. Disana Taslimuddin memulai hidup baru dan menjadi orang yang sukses. Beliau dikenal senang bershadaqah dan tekun beribadah.

Musthafa kemudian berangkat ke Malaysia untuk menemui istri kedua ayahnya demi memperoleh informasi yang lebih akurat. Sayang ibu tirinya ini menolak bertemu dan terkesan menghindar.
Ia tidak patah arang, ditemuinya ke lima adik tirinya dan kerabat ayahnya yang lain. Namun sikap mereka tidak berbeda jauh dengan sang ibu tiri. Hanya kubur bisu sang ayah saja yang dapat ditemuinya. Ternyata telah dua setengah tahun ayahnya berpulang.

Sungguh berat ujian Musthafa untuk menunaikan amanahnya tersebut. Di tanah jiran ini, ia dianggap hendak meminta bagian hak waris dan dituduh sebagai pembual.

Sampai disuatu sore, Musthafa merasa segala usahanya telah buntu. Walau sang ayah tetap mengganggu tidurnya, ia memutuskan untuk kembali ke tanah air. Ditemuinya kembali ibu tirinya untuk berpamitan.

Saat Musthafa meninggalkan rumah ibu tirinya, di depan jalan ia berpapasan dengan seorang lelaki tua. Lelaki tersebut kemudian memperkenalkan diri dan bertanya, ”Namaku Datuk Husain bin Sultan Haji. Apakah ini rumah Taslimuddin? Ku dengar beliau telah wafat, bolehkah aku berziarah kekuburnya? Aku karib lama beliau”.

Musthafa lalu mengantar Husain ke makam ayahnya. Dalam perjalanan mereka terlibat percakapan. Musthafa menceritakan bagaimana perjuangannya untuk menunaikan pesan ayahnya yang hingga kini belum terlaksana. Sementara Husain berkisah tentang kedekatannya dengan Taslimuddin.

Cukup jauh juga makam Taslimuddin, membuat Musthafa dan Husain memilih beristirahat sebentar disebuah warung.
Disini Musthafa menanyakan apakah ayahnya ada berbuat kesalahan atau ada berhutang kepada Husain.
Sambil menggeleng Husain berkata, ”Seingatku rasanya tidak ada, kalaupun ada aku telah mengikhlaskan dan memaafkannya”.

Hingga saat hendak memasuki tanah pemakaman, Husain tiba-tiba teringat, katanya, ”Oh iya, saat itu kami sedang minum kopi di sebuah warung. Ketika hendak membayar, ayahmu tidak meiliki uang receh, maka aku lalu membayarkan kopinya sebesar 5 sen. Ayahmu berjanji akan menggantinya nanti. Sayang, esok harinya ayahmu kembali harus berangkat berlayar, sebelum dapat bertemu lagi denganku. Aku sendiri kemudian berangkat ke Timur Tengah, dan baru kembali beberapa minggu yang lalu”.

Didepan makam Taslimuddin, Husain memanjatkan doa, ”Ya Allah aku halalkan hutang lima sen yang kawanku Taslimuddin berhutang kepadaku”.
Setelah hari itu, Musthafa tidak lagi didatangi ayahnya dalam mimpi.

Sahabat, kisah diatas mengingatkan kita semua, bahwa walaupun selama hidup, amal ibadah dan shadaqah kita berlimpah, tetapi bila kita memiliki hutang walau hanya 1 rupiahpun, maka ketika kita wafat, ruh kita tetap akan tersiksa.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. telah bersabda, "Ruh seorang mu’min yang berhutang (materi), jika hutangnya tidak dijelaskannya (ketika masih hidup), maka tergantung-gantunglah ia di antara langit dan bumi (ruhnya tersiksa hingga hutangnya terikhlaskan)".

وَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube