بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Dikisahkan tentang seekor keledai tua milik seorang petani
tua, yang terperosok ke dalam sebuah sumur tua. Ah, hari sudah sore. Sumur itu gelap sekali. Petani itu
begitu menyayangi keledainya, sahabat perjuangannya selama belasan tahun menyambung
hidup. Maka dicobanya segala cara untuk mengeluarkan sang keledai.
Mula-mula dengan tali. Diulurkannya ke bawah. Diteriakinya
sang keledai agar menggigit tali itu. Ditariknya dan gagal. Lalu dibuatnya
simpul laso. Diulurkannya ke bawah lagi. Diserunya sang keledai masuk ke laso.
Ditariknya. Berat dan sang keledai berseru-seru serak. Oh itu lehernya
terjerat. Gagal lagi. Dicobanya segala cara dengan tali. Dan ia gagal. Merasa
tak berguna..
Lalu dicobanya mengulurkan sebatang bambu. “Jepitlah bambu
ini dengan kaki-kakimu!”, teriaknya. Ditariknya lagi. Dan nihil. Segala cara
bambu. Dan semuanya nihil hasil. Dicobanya pula balok-balok kayu. Dengan segala
rekadaya. Dan ia makin lelah. Dan harapnya makin menguap. Merembes keluar dari
jiwa bersama keringat yang mengkuyupi pakaiannya.
Matahari makin rendah di barat sana, hari kian menyenja. Dan
sang petani telah mengambil keputusan bersama keputusasaannya. Ia akan
menimbun sang keledai. Biarlah si keledai tua beristirahat di sana. Rehat yang
tenang setelah belasan tahun pengabdian. Biarlah.. “Keledaiku tersayang..
Terimakasih atas persahabatan kita. Kini saatnya engkau beristirahat.
Istirahatlah dengan tenang..” Matanya basah. Dadanya sesak. Tangisnya tertahan.
Tapi dia mulai mengayunkan cangkul. Setimbun demi setimbun tanah meluncur ke
dasar sumur.
Si keledai marah ketika segenggam tanah pertama mengenai
punggungnya. Tapi makin lama, ia tahu apa yang harus dilakukannya. Ia
mengangkat kakinya, naik ke atas tiap timbun tanah yang jatuh di dekat kakinya.
Kadangkala ia harus bergerak ke tepi, menghindari guyuran tanah dari atas. Atau
menggoyang tubuhnya hebat-hebat, agar tanah yang menimpa punggung gugur ke
bawah. Tapi ia terus naik. Tiap kali ada tanah jatuh, ia naik ke atasnya.
Begitu terus..
Hingga senja sempurna menjadi malam. Dan sang petani yang
bersedih mengira ia telah sempurna menguburkan keledai kesayangannya. Dalam
lelah, dalam payah, dalam duka yang menyembilu hati ia berbaring di samping
sumur. Sejenak memejamkan mata, menghayati gemuruh dalam dadanya. Dan saat
itulah, sang keledai meloncati tubuhnya dengan ringkikan bahagia, keluar dari
sumur tanpa kurang suatu apa.
Tugas kita adalah berbaik sangka. Bahwa yang seringkali kita
anggap sebagai mushibah, seringkali bukanlah mushibah itu sendiri. Bahwa yang
seringkali kita anggap sebagai penderitaan, bisa jadi adalah pertolongan Allah
dari jalan yang tak kita sangka-sangka.
وَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
0 komentar:
Posting Komentar