بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
“Pak, beli motor ya?”, pintanya.
Ayah tak menjawab, hanya diam dan mengusap kepalaku. Tak ada jawaban, ia pun pergi meninggalkan ayahnya. Tiga hari kemudian, dia kembali lagi.
“Ayah, sekarang ade banyak sekali kerjaan yah. Coba deh ayah bayangin, bolak balik kampus, udah gitu harus ngajar disekolah yang jauh, naek angkot sekitar 45 menit”, tuturnya.
"Terus?”, balas Ayahanda tercinta.
“Hemm, jadi kadang kakiku pegel yah, trus kalo di angkot suka ketiduran, eh malah sakit leher. Kayaknya kalo punya kendaraan sendiri, gak kan pegel pegel deh yah?”. Jelasnya.
Seperti biasa, ayah tak menjawab. Pelan, dengan penuh sayang ia belai anak tercintanya itu. Merasa tidak puas, ia pun pergi meninggalkan ayah anda tercinta. Satu minggu kemudian, ia pun kembali menghampiri ayah yang sedang asyik baca koran.
“Yah, kemarin ada temen yang nawarin motor. Murah loh yah, masih bagus pula”. Katanya.
“Wah, berapa harganya?”. Jawab ayah.
“Tujuh juta yah, murah kan?”. Balasnya.
“Ohh…”
Lalu ayah terdiam tanpa ada satu kata pun keluar. Singkat cerita, malam harinya, si anak terbangun dari tidurnya, padahal masih pukul 02.30 dini hari. Karena nanggung tidur lagi, akhirnya ia putuskan tuk menunggu adzan subuh dengan shalat malam. Lepas mengambil air wudhu, ia mendengar suara bisik orang mengobrol. Ia pun mencoba mendekatinya, dan ternyata bersumber dari kamar kedua orang tuanya. Ia pun merapatkan telinganya ke daun pintu, berusaha menyimak obrolan didalam.
“Bu, tabungan masih ada?”. Tanya ayah.
“Masih, kenapa yah?”. Jawab ibu tenang.
“Ada berapa bu?”. Tanya ayah kembali.
“Lumayan, ada tiga juta. Tapi, ibu anggarkan untuk bayar uang kosan sama bayar kuliah ade. Emang kenapa yah?”
“Ohh, enggak. Kalo ditambah tabungan ayah jadi enam juta, masih kurang satu juta lagi. Gimana yah bu?”. Tutur ayah pelan.
“Emang buat apa yah?”. Tanya ibu, heran.
“Gini bu, ade butuh motor, harganya tujuh juta”. Jawab ayah.
“Ohh, buat itu. Ya udah, sisanya kita pinjem ke bank aja yah, gimana?”. Saran ibu.
“Bisa sih, tapi uang ibu itu, gimana? Buat bayar ini dan itu”. Kata ayah.
“Gampang aja, ibu bisa pinjem dulu ke tetangga sebelah. Yang penting ade punya motor, mungkin dia butuh yah”. Tutur ibu.
“Iya bu, ayah gak tega kalo setiap hari ade harus jalan, kakinya pegel, atau naek angkot sampe lehernya sakit, bolak balik kampus. Gimana kalo ade sakit karena kecapean bu, ayah khawatir”, jelas ayah.
“ya udah, ambil aja tabungan ibu yah. Sisanya kita cari besok, moga aja dapet. Ntar kita beli motor yang bagus buat ade, biar gak pegel pegel lagi”, kata ibu.
Si anak yang mendengar obrolan malam itu, hanya diam terpaku dibelakang pintu. Ia jatuh lunglai, lemas mendengar obrolan ayah dan ibunya. Namun segera ia bangkit dan jalan perlahan menuju kamar. Delapan rakaat tahajjud, ditutup witir ia tunaikan. Setangkai do’a ia lantunkan, bisik lirih hatinya disertai deraian air mata.
“Ya Rabb, betapa naif dan egois diri hamba. Mudah mulut hamba berucap, minta ini dan itu. Tanpa hamba tau, betapa sulit ayah dan ibu tuk mengabulkannya. Ya Rabb, ampuni hamba, atas kelalaian ini. Ampuni dan lindungi pula kedua orang tuaku, yang selalu tersenyum didepanku, selalu memberikan motivasi padaku, selalu mengerti aku…walaupun, sedikit aku mengerti mereka. Ya Rabb, dewasakanlah aku, agar menjadi anak yang baik dan hamba yang baik, aamiin”
Seperti panas gersang tersiram hujan, ketenangan mengalir dalam darahnya. Esok paginya, dia menghampiri ayah yang sedang duduk diteras.
“Ayah, ade baca artikel tentang kesehatan. Ternyata, jalan kaki itu sehat yah, apalagi kalo rutin. Pantes yah, ade jadi jarang sakit. Terus, ade tau supaya gak sakit leher di angkot, ade harus duduk di kursi depan, jadi posisi tubuh ade lurus. Jadi, gak punya kendaraan sendiri juga, oke aja tuh. Toh, entar kalo punya ribet ngerawatnya yah"
Ayah hanya tersenyum, dan membelai penuh sayang anaknya tercinta. Sesekali ia menyeka air mata yang menyembul dari katanya.
وَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
0 komentar:
Posting Komentar